Senin, 06 Juni 2016

Kopi Malabar, Kabupaten Bandung.

Kopi sekarang bukan lagi jadi sesuatu yang cuma diminum di pos ronda di kampung-kampung, tapi udah jadi sebuah lifestyle yang bikin banyak coffee shop bertaburan dimana-mana, ga cuma di Indonesia lho, tapi hampir seluruh dunia, dan kita harus bangga, karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi terbaik dunia.


Sejak jaman penjajahan kolonial Belanda kopi Indonesia udah terkenal banget, makanya sampe sekarang nama "Java coffee" itu udah mendunia, bahkan kemaren pas gue ke Nepal, ada salah satu coffee shop disana yang namanya "Himalayan Java Coffee" dan tempat itu jadi tempat nongkrongnya anak gaul disana gitu. 

Buah kopi setelah 1 tahun, siap dipanen
Sebutin deh berapa coffee shop yang populer sekarang di Jakarta, pasti banyak banget, udah ga keitung malahan pasti, ada Crematology, Tanamera, Giyanti Coffee, Koultora, dan masih banyak lagi yang lainnya, yang jadi tempat nongkrongnya instagrammer yang suka foto-foto di coffee shop, karena biasanya selain tempatnya enak, kopinya juga enak.

Buah kopi yang baru dipanen
Nah kemaren ini gue berkesempatan ngabisin sehari (walaupun rasanya masih kurang) buat ketemu sama seorang pecinta kopi yang juga pemrakarsa sebuah kelompok petani kopi di kawasan Kabupaten Bandung bareng tim Jurnal Indonesia Kaya. Namanya adalah Pak Nuri panggilannya, lengkapnya Pak Supriatna Dinuri yang lahir 4 Juni 1965. Pak Nuri ini menurut gue sangat inspiratif, dimana dia beralih dari seorang petani sayur jadi petani kopi di awal tahun 2000an, dan setelah sekitar 14 tahun, beliau berhasil membuat kopi ini menjadi sebuah komoditi yang padat karya di tempat kelahirannya, Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kaki Gunung Malabar. 

Pak Nuri

Apa sih padat karya? Padat karya itu maksudnya bener-bener bermanfaat dari segala aspek, misalnya nih ya Pak Nuri sekarang udah punya 267 orang kepala keluarga di kelompoknya yang merupakan petani kopi, membuka lapangan pekerjaan baru buat lingkungannya, sementara proses dari menanam kopi sampe akhirnya menjadi secangkir kopi pun panjang, jadi makin banyak lapangan pekerjaan yang tersedia, sementara beliau tetep ngejaga keselarasan sama alam, sebisa mungkin ga pake bahan kimia untuk pupuk, tapi pake pupuk alami dari kotoran hewan.

Chill aja, kotoran gue dipake pupuk.


Itu yang gue seneng, walaupun Pak Nuri udah sukses dengan KOPI MALABAR, tapi perekonomian daerahnya juga ikut terangkat, dan ga ada pihak yang dirugiin, termasuk alam, bahkan Pak Nuri menangkar luwak yang kalo udah siap dilepas, dilepas ke kebun-kebun kopi, jadilah sebuah simbiosis mutualisme, antara pengusaha kopi dan alam. Keren kan? Mau liat lengkapnya, tunggu episode Jurnal Indonesia Kaya episode ini ya. Inspirasi bisa datang dari mana aja, termasuk dari seorang pencinta kopi, Pak Nuri. Kalo ada yang mau berkunjung ke Malabar dan ngobrol bareng Pak Nuri, silahkan tulis di komen untuk konteknya, nanti pasti gue share. Oh iya berkat beliau, gue sekarang jadi suka kopi, abisnya KOPI MALABAR enak banget sih!


Luwak
Selamat jalan-jalan, semoga kita berpapasan!


Cheers, 



Febrian

5 komentar:

  1. Hi Febrian.. setelah baca tulisan diatas jd pengen liat n ktemu pa Nuri. Bole share no n alamat beliau? My email ibba@hi-nan.com thx ya.. keep explore and writing!

    BalasHapus
  2. Hi kak Febrian..baca-baca tulisan-tulisan di blog kakak, nemu deh cerita soal jalan-jalan ke Malabar. Kebetulan juga aku diminta untuk nyari kebun kopi di daerah dekat Jakarta atau Bandung.Aku boleh minta kontaknya pak Nuri, kak?
    Thank you!

    Selamat terus berkaya lewat tulisan-tulisan kecenya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ohya, kalau boleh dikirim ke ryarosantika@gmail.com, ya kak~
      Thanks a lot!

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus